Jakarta — Pemerintah Indonesia tengah menyusun kebijakan baru yang akan mewajibkan platform lokapasar (marketplace) untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) dari para pedagang yang berjualan di dalam ekosistem digital mereka. Rencana ini bukan sekadar upaya meningkatkan penerimaan pajak negara, tetapi juga untuk memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital yang kian masif, sekaligus mendorong kesetaraan perlakuan antara pedagang daring (online) dan pedagang luring (offline).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukanlah pengenaan pajak baru. Pada dasarnya, aturan ini mengalihkan (shifting) mekanisme pembayaran pajak dari sistem mandiri oleh pedagang menjadi sistem pemungutan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk. Skema ini akan diberlakukan melalui PPh Pasal 22 dengan tarif 0,5 persen dari omzet pedagang, khususnya mereka yang memiliki pendapatan tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.
Bukan Pajak Baru, Tapi Skema Baru
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa prinsip dasar perpajakan tetap berlaku, yakni PPh dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak, termasuk dari penjualan barang dan jasa secara online. “Kebijakan ini akan memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara lebih sederhana dan terintegrasi,” ujarnya.
Namun, kebijakan ini juga memunculkan sejumlah kekhawatiran, terutama dari pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi mayoritas pedagang di ekosistem e-commerce Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 82,97 persen pelaku usaha e-commerce beromzet kurang dari Rp 300 juta per tahun, dan hanya 0,21 persen yang memiliki omzet di atas Rp 50 miliar.
Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Suryadi Sasmita, menegaskan bahwa pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tidak akan dikenakan pajak dalam skema ini. “Kami mengimbau para pedagang online tak perlu khawatir. Kebijakan ini justru memberikan kemudahan dan transparansi,” ujar Suryadi.
Tantangan: Data, Sistem, dan Kepercayaan
Meski demikian, pelaksanaan kebijakan ini tak semudah membalik telapak tangan. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyebut ada tiga tantangan utama: integrasi data pedagang antar-platform, keamanan data pribadi, dan kesiapan sistem teknologi di masing-masing lokapasar.
“Banyak pedagang yang memiliki toko di lebih dari satu platform. Maka diperlukan sinkronisasi lintas-platform agar pemungutan pajak tidak tumpang tindih atau keliru,” kata Budi. Selain itu, isu keamanan data pribadi menjadi krusial di tengah meningkatnya kekhawatiran publik terhadap penyalahgunaan data oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Budi juga menyatakan bahwa kebijakan ini kemungkinan akan berdampak pada harga jual produk. Pedagang yang terkena pungutan pajak mungkin akan menaikkan harga barang atau beralih ke saluran penjualan lain yang lebih longgar dari sisi regulasi, seperti media sosial.
Perpindahan ke Medsos dan Risiko Shadow Economy
Hal ini juga diamini oleh Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios). Ia menyatakan, “Ke depan, bisa saja pedagang online memilih berjualan lewat media sosial karena di sana tak ada pemungutan pajak atau biaya admin tinggi seperti di marketplace.” Namun, ia juga mengingatkan bahwa jual beli lewat media sosial rawan penipuan karena tidak ada sistem perlindungan konsumen yang kuat.
Jika pedagang berpindah ke platform tidak resmi, hal ini justru berpotensi memperbesar shadow economy—yakni aktivitas ekonomi yang tidak tercatat oleh negara—dan menghambat upaya pemerintah memperluas basis pajak.
Dukungan Industri dan Target Jangka Panjang
Meski penuh tantangan, industri tetap mendukung arah kebijakan ini. Menurut laporan Pajak.com dan DDTCNews, para pengusaha, termasuk dari Apindo, menyatakan dukungan mereka demi menciptakan iklim usaha yang adil dan berkelanjutan.
Kebijakan ini juga selaras dengan semangat Indonesia menuju digitalisasi perpajakan melalui sistem Coretax, yang memungkinkan pelacakan dan integrasi data perpajakan secara real time. Pemerintah berharap dengan skema pemungutan otomatis, tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak akan meningkat, dan penerimaan negara dari sektor digital akan lebih optimal.
Sebagai tambahan, laporan riset Momentum Works mencatat bahwa meskipun laju pertumbuhan nilai transaksi marketplace di Asia Tenggara melambat menjadi 12 persen pada 2024, Indonesia masih menjadi pasar terbesar dengan kontribusi 44 persen dari total GMV kawasan. Namun, Indonesia juga mencatat pertumbuhan GMV terendah dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia.
Penerapan pemungutan PPh oleh marketplace ini adalah bagian dari reformasi perpajakan digital. Bagi pemerintah, ini merupakan langkah strategis untuk menyesuaikan regulasi dengan perkembangan bisnis modern. Bagi pelaku usaha, kebijakan ini menghadirkan tantangan adaptasi sistem dan potensi perubahan pola jual beli. Agar kebijakan ini efektif dan berkeadilan, perlu dialog terbuka antara pemerintah, platform digital, dan pelaku UMKM, agar tidak hanya menciptakan penerimaan pajak, tetapi juga ekosistem digital yang sehat, aman, dan kompetitif.