Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat tengah menyiapkan langkah berbeda dalam mengawasi pembangunan infrastruktur di wilayahnya. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan bahwa mahasiswa jurusan teknik sipil akan dilibatkan langsung dalam proses pengawasan proyek. Langkah ini lahir dari keprihatinannya terhadap kualitas konsultan yang selama ini menangani pembangunan di Jabar.
KDM—sapaan akrab Dedi Mulyadi—tak segan menyatakan bahwa sebagian konsultan dinilai kurang memahami dinamika pembangunan. Usai membuka acara “Jabar Econovation: Akselerasi Ekonomi & Inovasi Jabar Menuju Indonesia Emas 2045” di Aula Barat Gedung Sate.
“Jadi saya melihat kemajuan pembangunan selalu masalahnya konsultan-konsultannya tidak ngerti. Saya lihat, konsultan orang-orang yang tidak begitu capable, yang tidak bisa melihat kemajuan pembangunan dan rata-rata sudah tua.” tegas KDM
Ucapannya itu menjadi gambaran frustrasi sekaligus awal dari ide pelibatan mahasiswa.
Menurut KDM, mahasiswa teknik sipil memiliki pengetahuan yang lebih segar dan dekat dengan perkembangan metode konstruksi masa kini. Dengan terjun langsung ke lapangan, mereka tak hanya membantu mengawasi proses pembangunan, tetapi juga mendapatkan pengalaman yang tidak bisa diperoleh dari ruang kuliah. Yang lebih menarik, mereka juga akan mendapat honor.
“Lumayan kalau anak-anak mahasiswa ada honor pengawasan. Misalnya honor pengawasannya Rp250 ribu sehari, mereka bisa dapat uang saku tambahan untuk kuliah sehingga beban orang tuanya menjadi ringan,” katanya.
Untuk memastikan skema ini berjalan, Pemdaprov Jabar akan menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi. Penandatanganan akan dilakukan pekan depan, bertepatan dengan masih tersisanya pekerjaan infrastruktur di Jabar dengan nilai kurang lebih sekitar Rp300 miliar hingga akhir 2025.
Artinya, peluang mahasiswa untuk langsung berada di proyek konstruksi terbuka lebar—mulai dari memeriksa spesifikasi material, menghitung volume pekerjaan, hingga memantau progres harian.
Tidak hanya mahasiswa, KDM juga memperluas gagasan ini ke tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK). Ia mengaku telah mulai berdiskusi dengan sejumlah sekolah untuk melibatkan siswa dalam kegiatan pembangunan skala pendidikan. Dalam bentuk sederhana, pembelajaran matematika diharapkan tak lagi berhenti pada angka-angka abstrak.
“Misalnya anak-anak suruh menghitung bangunan yang lagi dibangun di sekolahnya. Panjang, lebar, berapa jumlah semen yang digunakan, berapa kubik pasir, kemudian juga berapa batang besi panjangnya berapa, diameternya berapa,” paparnya.
Melalui pendekatan ini, KDM ingin mendorong pendidikan vokasi yang lebih aplikatif. Para siswa SMK belajar menghitung bukan hanya melalui buku, tetapi lewat lembar kerja nyata di lapangan. Sementara itu, mahasiswa teknik sipil memperoleh kesempatan untuk menguji kompetensinya sebelum benar-benar terjun ke dunia profesional. Secara bersamaan, pemerintah juga mendapatkan pengawasan lapangan berlapis yang lebih jeli.
Langkah ini mencerminkan upaya Jawa Barat dalam mengawinkan kebutuhan pembangunan dengan potensi generasi muda. Di tengah proyek-proyek besar yang masih berlangsung, KDM melihat kesempatan untuk memperkuat kualitas pengawasan dengan cara yang tidak hanya efisien, tetapi juga edukatif. Keterlibatan mahasiswa dan siswa SMK diharapkan memberi kontribusi nyata terhadap kualitas infrastruktur, sembari menanamkan pengalaman yang menjadi modal penting bagi masa depan.
Dengan cara ini, proses pembangunan tidak hanya menghasilkan beton dan aspal, tetapi juga menghasilkan generasi muda yang lebih siap, lebih terampil, dan lebih memahami dunia konstruksi dari pengalaman langsung. Kebijakan ini pada akhirnya menjadi sebuah eksperimen sosial yang menarik: memadukan energi muda, kepentingan pendidikan, dan kebutuhan pembangunan daerah dalam satu gerakan yang saling menguatkan.
















