Ramadan datang, dan ini saatnya mahasiswa unjuk gigi. Bukan cuma soal ibadah yang lebih khusyuk atau puasa yang tetap bertahan meski dosen killer masuk kelas, tapi juga tentang satu ritual tahunan yang selalu eksis: bagi-bagi takjil.
Siapa yang tidak suka gratisan? Bahkan mahasiswa yang isi dompetnya lebih tipis dari kertas HVS pun bakal tersenyum bahagia kalau ada gorengan atau es buah gratis menjelang Maghrib.
Tapi ada yang menarik. Fenomena bagi-bagi takjil ini bukannya dilakukan atas nama kampus tercinta, tapi justru atas nama organisasi masing-masing.
Bukan nama kampus yang menempel di spanduk, melainkan “Himpunan Mahasiswa Jurusan X,” atau “Badan Eksekutif Mahasiswa Y.” Ada juga Unit Kegiatan Mahasiswa yang menegaskan identitasnya dengan font bold plus logo organisasi yang lebih besar dari foto takjil itu sendiri. Bahkan, ada yang hanya mengatasnamakan satu angkatan dari jurusan tertentu saja.
Apakah ini salah? Tidak juga. Justru ini menarik.
Bayangkan skenarionya: jalanan kampus hingga jalur perkotaan saat menjelang buka puasa, ada beberapa kelompok mahasiswa di titik berbeda, masing-masing dengan seragam kebanggaan organisasinya, membagikan takjil sambil menyebar selebaran kegiatan mereka. Yang satu pakai jaket almamater hijau tua khas himpunan teknik, yang lain seragam merah khas UKM sosial. Ada juga kelompok yang memilih pakai kaos hitam bertuliskan jargon organisasi mereka, biar tetap edgy meski lagi berbagi berkah.
Yang bikin kocak adalah, kalau diikuti lebih jauh, mahasiswa yang satu organisasi biasanya lebih sering berinteraksi dengan sesama mereka saja. Ada mahasiswa yang habis ambil takjil dari satu kelompok, tapi nggak enak kalau ambil lagi di kelompok sebelah, takut ketahuan dobel jatah dan dicap kurang beradab. Padahal, siapa tahu, takjil dari organisasi sebelah lebih enak isinya?
Tapi tunggu dulu, ada sisi positifnya. Meskipun mereka lebih menonjolkan nama organisasi dibanding nama kampus, toh, tetap ada embel-embel kampusnya di situ. “Himpunan Mahasiswa Teknik Mesin Universitas (sebut nama kampus),” misalnya. Atau “BEM Universitas (sebut nama kampus).” Artinya, kampus tetap kecipratan branding. Setiap postingan Instagram, setiap story WhatsApp, dan setiap senyuman penerima takjil tetap membawa citra kampus ke publik. Strategi pemasaran yang tidak disengaja, tapi efektif.
Coba bayangkan kalau semua organisasi ini benar-benar bersatu, membuat satu gerakan besar: “Mahasiswa Universitas X Berbagi.” Pasti lebih spektakuler. Mungkin jalanan akan penuh dengan mahasiswa berbaju seragam kampus, membagi takjil dengan penuh semangat. Tapi… di mana tantangannya?
Mahasiswa Tanpa Ego Sektoral
Mahasiswa tanpa ego sektoral itu seperti gorengan tanpa saus—tetap bisa dinikmati, tapi kurang seru. Kompetisi antar organisasi justru membuat Ramadan di kampus semakin semarak.
Ada yang paling rajin update story, ada yang desain poster bagi takjilnya seperti flyer konser, ada yang unggah reels dramatis dengan slow-motion senyum sambil menyodorkan plastik berisi es teh. Semua ini bagian dari dinamika kampus yang justru bikin suasana semakin hidup.
Jadi, meskipun masing-masing organisasi lebih menonjolkan namanya sendiri, pada akhirnya mereka tetap membawa nama kampus ke publik.
Entah itu sebagai organisasi yang aktif, mahasiswa yang peduli, atau sekadar tempat di mana masyarakat bisa dapat takjil gratis tanpa harus ke masjid terdekat bahkan untuk mahasiswa itu sendiri. Kampus tetap diuntungkan, mahasiswa tetap bisa eksis, dan yang paling penting: perut tetap kenyang.
Jadi, lain kali kalau ada yang tanya, “Kenapa nggak atas nama kampus aja sih?” Jawab saja dengan santai: “Lha, kan branding itu penting. Baik untuk organisasi, baik untuk kampus.” Yang penting, selama bagi-bagi takjilnya nggak sambil kampanye terselubung atau bikin geng eksklusif yang bikin mahasiswa lain sungkan ambil, ya sah-sah saja.
Mau pakai nama organisasi atau tidak, yang penting Ramadan tetap penuh berkah, perut tetap bahagia, dan feed Instagram tetap estetik. Setuju?
Mengintip Mahasiswa Universitas Kartamulia Berbagi Takjil
Fenomena bagi-bagi takjil yang dilakukan mahasiswa Universitas Kartamulia pun tidak jauh berbeda. Berbagai organisasi berlomba-lomba menyelenggarakan aksi sosial ini dengan menonjolkan identitasnya masing-masing, meskipun tetap membawa nama kampus.
Mahasiswa dari Program Studi Manajemen Universitas Kartamulia, misalnya, melalui koordinasi Himpunan Mahasiswa Manajemen (Himamen), menggelar kegiatan berbagi takjil di masjid-masjid sekitar wilayah kampus, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, pada 15 Maret 2025.

Ahmad Fauzan, salah satu mahasiswa yang turut serta dalam kegiatan ini, menekankan pentingnya aksi sosial semacam ini. “Acara-acara positif seperti ini harus terus ada. Hal-hal baik seperti ini harus terbawa terus, bukan cuma di bulan Ramadhan saja,” ujarnya kepada Tim Intiporia.
Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Hukum (Himakum) Universitas Kartamulia memilih pendekatan yang berbeda. Mereka mengadakan buka puasa bersama untuk semua angkatan Program Studi Hukum. Momen ini bukan hanya sekadar makan bersama, tapi juga menjadi ajang mempererat hubungan antarangkatan.

Hadi Hermawan, salah satu pengurus Himakum, menyampaikan bahwa meskipun saat ini mahasiswa sedang dalam masa libur kuliah, mereka tetap menyempatkan waktu untuk berkumpul dalam acara ini.
“Selain berbuka puasa bersama, momen ini juga menjadi ajang silaturahmi agar tetap terjalin hubungan yang erat antar mahasiswa,” katanya saat dihubungi Tim Intiporia.
Dari berbagai kegiatan ini, jelas terlihat bahwa meskipun mahasiswa lebih menonjolkan nama organisasinya dalam kegiatan sosial, kampus tetap mendapatkan exposure. Jadi, pada akhirnya, apakah ego sektoral itu benar-benar masalah? Atau justru elemen yang membuat Ramadan di kampus semakin berwarna?
***