Di dunia perkuliahan yang penuh dengan deadline, tugas menumpuk, dan dosen yang gemar berkata, “Ini gampang kok, cuma butuh analisis sedikit,” muncullah sosok pahlawan tanpa tanda jasa: joki tugas.
Iya, mereka yang dengan penuh dedikasi—dan tarif yang beragam—menolong mahasiswa keluar dari jurang kehancuran akademik. Tapi, apakah joki tugas ini benar-benar pahlawan? Atau mereka sekadar agen bayangan yang diam-diam menggerogoti budaya pendidikan?
Udah Kenal sama Joki Tugas?
Jujur saja, joki tugas bukan barang baru. Keberadaannya sudah lama menjamur, nyaris menjadi bagian dari ekosistem akademik yang tak tersentuh kebijakan kampus. Ini bukan sekadar urban legend; joki tugas hadir dalam berbagai bentuk. Ada yang spesialis esai, ada yang jago bikin jurnal, ada yang sakti mandraguna dalam hitung-menghitung laporan keuangan. Bahkan, yang lebih canggih, ada yang menjamin nilai minimal B+ asal bayarannya sepadan. Lebih fleksibel dari cicilan paylater!
Anehnya, fenomena ini tidak pernah dianggap sebagai isu serius. Kenapa? Karena joki tugas ini ‘tidak meresahkan’. Mereka bekerja dalam diam, tidak merusak fasilitas kampus, tidak bikin demo di depan rektorat, dan yang paling penting: tidak mengganggu dosen tidur siang. Selama tugas tetap masuk ke meja dosen dan nilai tetap keluar di Kartu Hasil Studi (KHS), maka semuanya baik-baik saja.
Padahal, kalau ditelisik lebih dalam, budaya joki tugas ini sebenarnya seperti rayap yang pelan-pelan merusak pondasi pendidikan. Mahasiswa yang harusnya belajar berpikir kritis, melakukan penelitian, dan menyusun argumen berbasis data, malah sibuk scrolling katalog joki di Instagram.
Bagaimana Pendidikan Kita?
Orientasi pendidikan yang seharusnya melahirkan pemikir, inovator, dan akademisi berbakat berubah menjadi ‘yang penting dapat gelar, urusan lain belakangan’.
Lebih parah lagi, semakin murahnya jasa joki tugas justru membuat praktik ini semakin merajalela. Dengan harga yang bahkan lebih murah dari ongkos makan di kantin kampus, mahasiswa jadi semakin terbiasa dengan ‘kemudahan’ ini.
Tidak perlu lagi begadang membaca jurnal, cukup bayar dan duduk manis menunggu tugas selesai. Bahkan, beberapa joki tugas menawarkan harga paket hemat: beli tiga tugas, gratis revisi tanpa batas! Jika begini terus, jangan heran jika nanti ada ‘diskon akhir semester’ untuk jasa skripsi.
Tapi, di sisi lain, joki tugas ini juga bisa dianggap sebagai solusi bagi mahasiswa yang kuliahnya lebih mirip game survival: harus bertahan hidup di tengah deadline yang tidak manusiawi. Apalagi bagi mereka yang harus membagi waktu antara kerja, organisasi, dan menghadiri kelas dengan absensi minimal. Dengan kondisi seperti ini, menyewa joki tugas menjadi semacam strategi bertahan hidup, bukan sekadar bentuk malas-malasan.
Jadi, apakah joki tugas ini benar-benar musuh? Ataukah mereka hanya produk dari sistem pendidikan yang lebih menekankan hasil daripada proses?
Kampus bisa saja pura-pura tidak tahu, tapi jika budaya ini terus dibiarkan, gelar sarjana kelak tidak lebih dari sekadar selembar kertas tanpa substansi. Dan siapa tahu, beberapa tahun lagi kita bisa melihat iklan lowongan kerja yang berbunyi: “Dicari lulusan S1, minimal IPK 3.5 (boleh hasil joki, asal bayar tepat waktu).”
Sungguh, masa depan yang menarik, bukan? ***