Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) murni merupakan inisiatif partisipatif yang berakar pada semangat gotong royong dan kearifan lokal silih asah, silih asih, silih asuh.
KDM—sapaan akrab Gubernur Dedi Mulyadi—membantah keras adanya kebijakan resmi dari pemerintah provinsi yang mewajibkan pungutan uang sebesar Rp1.000 dari masyarakat, termasuk dari kalangan pelajar, pekerja, atau Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Tidak ada kebijakan seperti itu. Yang ada hanyalah ajakan dari gubernur kepada seluruh jajaran pemerintah, mulai dari RT, RW, kepala desa, lurah, camat, bupati, hingga wali kota untuk bersama-sama membangun solidaritas sosial,” ujar KDM melalui akun media sosialnya, @dedimulyadi71.
KDM menjelaskan bahwa ide gerakan ini muncul dari kenyataan di lapangan, di mana masih banyak warga yang kesulitan membiayai kebutuhan pendukung saat berobat, meski layanan kesehatannya sendiri sudah gratis.
“Ada yang tidak punya ongkos ke rumah sakit, tidak punya biaya untuk menunggu keluarga yang dirawat, bahkan kesulitan bolak-balik kemoterapi dari Cirebon ke Jakarta,” tuturnya.
Menurut KDM, masalah sosial semacam ini seharusnya dapat diselesaikan secara efektif di tingkat lingkungan. Ia mengusulkan agar setiap RT membentuk bendahara atau pengelola dana yang dipercaya warga untuk menampung donasi sukarela Rp1.000 per hari di kotak yang diletakkan di depan rumah masing-masing, mirip dengan tradisi beas jimpitan.
“Nanti kalau ada orang sakit, kemudian tidak punya uang untuk pergi ke rumah sakitnya, maka orang yang mengelola uang itu bisa memberikannya dan setiap bulan harus dilaporkan pada seluruh penyumbang. Di setiap RT sudah ada grup WA sekarang di RW ada grup WA sangat mudah,” jelasnya mengenai mekanisme pengelolaan dana tersebut.
KDM juga mengimbau kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota untuk mengoordinasikan ASN agar aktif melayani dan membantu masyarakat yang membutuhkan. Ia menegaskan, dana ‘Poe Ibu’ ini tidak akan ditarik ke provinsi atau dikolektifkan olehnya.
“Tidak ada uang rakyat yang dikolektifkan. Dana operasional gubernur digunakan untuk layanan rakyat,” tegasnya. “Ada namanya Balai Pananggeuhan uang itu dikumpulkan dari para ASN untuk memberikan sumbangsih, menolong sesama masyarakat. Enggak ada kaitan dengan APBD, engga ada kaitan dengan dana APBN,” pungkasnya.
Menggarisbawahi sifatnya yang sukarela, KDM menyebut bahwa gerakan serupa sebenarnya sudah lama mengakar di masyarakat Jawa Barat. Ia berharap daerah yang telah menerapkannya dapat terus mengoptimalkan layanan, dan wilayah lain dapat menjadikannya contoh.
“Gerakan ini bukan kewajiban, hanya ajakan. Mari kita menolong sesama kita, barangkali hari ini kita memberikan sumbangsih kepada seseorang, bisa jadi suatu saat kita yang mengalami kesulitan dan akhirnya ada tempat pananggeuhan, ada tempat mengadu di mana kita bisa meminta pertolongan hanya itu saja,” tutup KDM.
















