• Tentang Kami
  • Layanan Iklan
  • Hubungi Kami
Senin, 15 Desember 2025
Intiporia
Kirim Artikel
  • Sekilas
  • Tren
    • All
    • Budaya
    • Dunia
    • Film
    • Kampus
    • Lingkungan
    • Lokal
    • Musik
    • Muslim
    • Olahraga
    • Opini
    • Peristiwa
    • Politik
    • Selebritas
    • Teknologi
    • Wisata
    Ilustrasi MBG

    Pengalaman jadi Penata Porsi di Dapur MBG: Kena Semprot Aslap Karena Masalah Semangka

    TPA Cikolotok Purwakarta

    TPA Cikolotok, Gunung Sampah yang Sempat Diwacanakan Jadi Tempat Wisata

    Pelatih PERSIB, Bojan Hodak

    Persib Siap Tantang Pemuncak Klasemen: Hodak dan Klok Tegaskan Tak Mau Kendur di GBLA

    Dinar

    Dinar dan Dirham: Mata Uang Abadi dalam Sejarah Islam

    Epy Kusnandar

    Epy Kusnandar: Jejak Seni, Perjuangan, dan Warisan “Kang Mus”

    Polres Purwakarta

    APDESI Purwakarta Ajak Polres Purwakarta, Bedah Penerapan Restorative Justice

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow - Dok. JJ

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow

    Persib

    Bojan Hodak Sesalkan Kekalahan PERSIB dari LCS di ACL Two

    Sibuk

    Absurditas Kewajiban Pura-Pura Sibuk: Kita Semua Budak Validasi

  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
No Result
View All Result
Intiporia
  • Sekilas
  • Tren
    • All
    • Budaya
    • Dunia
    • Film
    • Kampus
    • Lingkungan
    • Lokal
    • Musik
    • Muslim
    • Olahraga
    • Opini
    • Peristiwa
    • Politik
    • Selebritas
    • Teknologi
    • Wisata
    Ilustrasi MBG

    Pengalaman jadi Penata Porsi di Dapur MBG: Kena Semprot Aslap Karena Masalah Semangka

    TPA Cikolotok Purwakarta

    TPA Cikolotok, Gunung Sampah yang Sempat Diwacanakan Jadi Tempat Wisata

    Pelatih PERSIB, Bojan Hodak

    Persib Siap Tantang Pemuncak Klasemen: Hodak dan Klok Tegaskan Tak Mau Kendur di GBLA

    Dinar

    Dinar dan Dirham: Mata Uang Abadi dalam Sejarah Islam

    Epy Kusnandar

    Epy Kusnandar: Jejak Seni, Perjuangan, dan Warisan “Kang Mus”

    Polres Purwakarta

    APDESI Purwakarta Ajak Polres Purwakarta, Bedah Penerapan Restorative Justice

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow - Dok. JJ

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow

    Persib

    Bojan Hodak Sesalkan Kekalahan PERSIB dari LCS di ACL Two

    Sibuk

    Absurditas Kewajiban Pura-Pura Sibuk: Kita Semua Budak Validasi

  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
Intiporia
  • Sekilas
  • Tren
  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
Home Esai

Membaca Fenomena Ekspresi Remaja lewat Teori Howard S. Becker

Jangan sampai demi viral beberapa detik, kita kehilangan nilai-nilai luhur yang menjadi perekat bangsa

Raka Purnama by Raka Purnama
13 Juli 2025
in Esai
Remaja

Ilustrasi gambar - Freepik/cookie_studio

Share on WhatsappShare on FacebookShare on Linkedin

Di era digital yang serba cepat, media sosial telah menjadi ajang utama bagi remaja untuk mengekspresikan diri. Fenomena joget dengan gerakan sensual, pakaian minim, hingga gaya bicara yang terkesan “nyeleneh” di TikTok atau Instagram kerap memicu kontroversi.

Bagi sebagian masyarakat, perilaku ini dianggap sebagai tanda kemunduran moral generasi muda—seakan-akan kiamat kecil sudah dekat. Di sisi lain, ada juga yang melihatnya sebagai bentuk kreativitas dan kebebasan berekspresi yang wajar di era keterbukaan informasi. Supaya kita tidak terjebak dalam pandangan hitam-putih, mari kita pinjam kacamata sosiolog Amerika, Howard S. Becker, untuk memahami fenomena ini.

BACA JUGA

Jika Redenominasi Terjadi: Harga Nasi Goreng Jadi 15 Rupiah dan Anak Kost Merasa Kaya Mendadak

Ketika Restorative Justice Belum Benar-Benar Adil

Howard S. Becker, seorang sosiolog kelahiran 18 April 1928 di Chicago, terkenal dengan karyanya Outsiders (1963) yang memperkenalkan teori pelabelan (labelling theory). Menurut Becker, penyimpangan bukanlah kualitas bawaan pada suatu perilaku atau individu.

Penyimpangan muncul ketika masyarakat memberi label “buruk” pada perilaku tertentu yang menyimpang dari norma dominan. Ia menyatakan, “Penyimpangan bukan kualitas orang jahat, tetapi hasil dari seseorang yang mendefinisikan aktivitas seseorang sebagai buruk.” Dengan kata lain, siapa pun bisa menjadi “penyimpang” jika perilakunya tidak sesuai dengan standar kelompok sosial yang berkuasa.

Kalau kita kaitkan dengan fenomena remaja di media sosial, jelas teori Becker sangat relevan. Joget di TikTok, live streaming sambil makan mic ASMR sampai berbusa, atau flexing uang receh seember sambil bilang “sultan vibes”—semua itu oleh sebagian orang dianggap hiburan receh khas anak muda.

Tapi oleh kelompok lain, terutama masyarakat yang menjunjung tinggi norma agama dan budaya, fenomena tersebut bisa dilabeli sebagai “tidak bermoral” atau “penyimpangan.” Di sinilah teori pelabelan bekerja: masyarakat membuat batasan mana yang disebut normal dan mana yang dianggap menyimpang, lalu menempelkan label pada mereka yang menabrak batas itu.

Namun, penting untuk disadari bahwa fenomena ini tidak muncul begitu saja. Budaya digital yang terbuka lebar membawa masuk pengaruh global, mulai dari tren dance challenge ala Barat sampai gaya bicara yang kebarat-baratan. Akhirnya, remaja Indonesia—yang hidup di tengah pluralisme Nusantara dengan norma agama, sosial, dan budaya yang kental—terombang-ambing antara dua arus: mengikuti gaya global yang lebih bebas, atau mematuhi nilai lokal yang lebih ketat. Hal ini menimbulkan benturan nilai yang memicu pro-kontra di masyarakat.

Meski Becker menyarankan kita untuk berhati-hati dalam memberi label, bukan berarti semua perilaku remaja bisa dibiarkan tanpa batas. Indonesia sebagai bangsa dengan keragaman agama dan budaya tentu memiliki nilai-nilai yang dijaga demi harmoni sosial.

Joget sensual di depan kamera mungkin bagi sebagian remaja dianggap biasa saja, tetapi bagi masyarakat Nusantara yang menjunjung kesantunan, perilaku tersebut bisa mengganggu rasa nyaman bersama. Apalagi jika dilihat dari norma agama yang cenderung ketat dalam mengatur ekspresi tubuh dan perilaku di ruang publik.

Selain itu, pelabelan negatif yang terlalu keras justru bisa berdampak sebaliknya. Remaja yang sering disebut “anak nakal” atau “generasi rusak” bisa jadi malah makin menolak norma dominan dan membentuk subkultur sendiri. Fenomena ini sesuai dengan konsep self-fulfilling prophecy dari Becker, di mana seseorang yang diberi label tertentu akhirnya akan berperilaku sesuai dengan label itu.

Di sisi lain, banyak remaja yang membalikkan stigma tersebut. Mereka dengan lantang mengatakan bahwa konten-konten itu adalah hak berekspresi di era demokrasi digital. Dalam pandangan mereka, “masa depan itu milik kami, bukan generasi yang masih pakai ringtone polifonik.” Perspektif ini menunjukkan adanya jurang nilai antara generasi muda dengan generasi sebelumnya yang lebih konservatif.

Melalui perspektif Becker, kita bisa melihat bahwa fenomena joget remaja di media sosial tidak bisa diputuskan hitam-putih sebagai benar atau salah. Penyimpangan yang dituduhkan pada mereka bukanlah sifat bawaan, melainkan hasil konstruksi sosial yang dinamis dan bergantung pada konteks budaya. Namun demikian, penting bagi generasi muda untuk tidak melupakan bahwa mereka hidup dalam masyarakat majemuk yang memiliki aturan dan norma untuk menjaga keseimbangan sosial.

Globalisasi memang membawa banyak tren seru, tapi bukan berarti semua harus ditelan mentah-mentah. Generasi muda perlu belajar memilah mana yang bisa diadaptasi tanpa merusak identitas budaya, dan mana yang sebaiknya disaring demi menjaga harmoni Nusantara. Jangan sampai demi viral beberapa detik, kita kehilangan nilai-nilai luhur yang menjadi perekat bangsa.

Tags: Pilihan
Plugin Install : Subscribe Push Notification need OneSignal plugin to be installed.

Related Posts

Redenominasi
Esai

Jika Redenominasi Terjadi: Harga Nasi Goreng Jadi 15 Rupiah dan Anak Kost Merasa Kaya Mendadak

10 November 2025
Restorative Justice
Opini

Ketika Restorative Justice Belum Benar-Benar Adil

10 Oktober 2025
Wisata
Esai

Menemukan Makna Wisata di Era Overtourism

2 Oktober 2025
Rojali dan Rohana
Esai

Fenomena Rojali dan Rohana: Ilusi Kemewahan dan Status Sosial di Mall

25 September 2025
Musyawarah
Esai

Musyawarah dan Hukum: Menyatukan Aturan Formal dan Kearifan Lokal

7 Agustus 2025
Gelar
Esai

Beratnya Punya Gelar Sarjana, Tapi Salah Nalar

31 Juli 2025
Next Post
Akatsuki

Akatsuki: Organisasi Teroris atau Simbol Pemberontakan Ninja?

  • Peta sebaran bencana Banjir dan Longsor Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat (Update 6 Desember 2025) - Tangkapan Layar Situs BNPB

    Update! Banjir dan Longsor Terjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat: 914 Jiwa Meninggal, 105 Ribu Rumah Rusak

    685 shares
    Share 274 Tweet 171
  • 10 Website Gratis untuk Download Jurnal Ilmiah

    841 shares
    Share 336 Tweet 210
  • 4 Hari Gedung DPRD Purwakarta Disegel, GMNI Purwakarta Tolak Propemperda Tanpa Dasar Ilmiah

    661 shares
    Share 264 Tweet 165
  • Pengalaman jadi Penata Porsi di Dapur MBG: Kena Semprot Aslap Karena Masalah Semangka

    655 shares
    Share 262 Tweet 164
  • 9 Langkah Menuju ‘Gapura Panca Waluya’, Berikut Isi Surat Edaran Pemda Jabar

    750 shares
    Share 300 Tweet 188
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Creative Intiporia
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi

© 2025 All Right Reserved Intiporia - Intip Dunia yang Menyenangkan

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kirim Artikel
  • Creative Intiporia
  • Hubungi Kami

© 2025 All Right Reserved Intiporia - Intip Dunia yang Menyenangkan