Mudik selalu punya cerita. Dari yang manis, absurd, sampai bikin kepala mau meledak. Bagi sebagian orang, mudik itu romantis, mengharu-biru, dan penuh nostalgia. Tapi bagi mereka yang sudah punya anak dua? Ah, lain lagi ceritanya!
Kami ngobrol dengan Kang Bayu, seorang buruh pabrik yang merantau dari Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, dan kini menetap di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat bersama istrinya, Mbak Rini.
Kang Bayu ini termasuk pemudik sejati, yang tiap tahun nekat pulang meski tiket mahal dan jalanan macet.
“Dulu, sebelum punya anak, mudik itu ibarat liburan. Modal jaket, ransel, dan duit secukupnya. Berangkat naik motor, berhenti sesuka hati, mau ngopi ya ngopi, mau molor ya molor. Hidup terasa ringan,” kenang Kang Bayu sambil menyeruput kopi hitam di sela-sela obrolan.
Mudik dengan motor adalah pengalaman yang, kata Kang Bayu, “sebanding dengan naik roller coaster, tapi tanpa seatbelt.”
Kadang kehujanan, kadang kepanasan, tapi tetap asyik karena bebas. Bisa mampir ke tempat-tempat menarik di sepanjang jalan, cari sate enak, atau sekadar duduk-duduk di warung kopi pinggir jalan. Sampai di kampung, tinggal leyeh-leyeh sambil dijamu bak raja oleh orang tua. Bisa bangun siang, makan enak, dan jalan-jalan keliling kampung tanpa beban.
Setelah punya dua anak, mudik tidak lagi tentang menikmati perjalanan. “Sekarang? Duh, kayak ekspedisi survival!” Kang Bayu tertawa getir. Ia menggambarkan skenario baru yang penuh drama: tas bawaan mendadak beranak pinak, istri yang sibuk mempersiapkan segala kemungkinan terburuk, dan anak-anak yang bisa tiba-tiba tantrum di tengah jalan.
“Kalau dulu naik motor, sekarang ya terpaksa naik mobil travel. Itupun harus cari yang nyaman, biar anak-anak nggak rewel. Beda banget sama dulu yang asal dapat kendaraan, gas aja!” katanya.
Persiapan mudik pun berubah drastis. Jika dulu cukup bawa ransel kecil, sekarang harus memastikan bawa tas besar berisi baju anak-anak, susu, popok, obat-obatan, tisu basah, dan segala macam peralatan tempur lainnya. Belum lagi makanan ringan untuk mengantisipasi perut mereka yang mendadak lapar di tengah jalan.
Perjalanan yang dulu terasa sebentar kini jadi lebih panjang. “Kalau anak-anak udah mulai bosan, wah, itu derita! Harus siap cemilan, mainan, dan jurus-jurus bujuk rayu. Nggak ada yang namanya tidur nyenyak di jalan. Dikit-dikit ada yang nangis, minta makan, atau tiba-tiba pengen pipis pas kita lagi stuck di kemacetan.”
Macet yang dulu dianggap biasa kini jadi mimpi buruk. Jika dulu bisa bersantai menikmati playlist lagu favorit, sekarang harus siap menghadapi rengekan anak yang bosan. “Pernah suatu kali, anak kedua saya nangis nggak berhenti karena nggak suka duduk terlalu lama. Mau nggak mau, harus cari tempat berhenti, nenangin dia dulu. Padahal waktu itu udah telat banget dan kami masih jauh dari tujuan.”
Dan ada satu momen dramatis yang tak terlupakan. “Pernah suatu kali, anak pertama saya tiba-tiba bilang perutnya mules. Kami panik, karena posisi lagi di tengah kemacetan dan nggak ada toilet di dekat-dekat situ. Saya coba menenangkan dia, tapi eh, tahu-tahu dia udah ‘meledak’ di celana!” Kang Bayu tertawa sambil menggeleng.
“Itu horor sih, karena baunya langsung menyebar ke seisi mobil travel! Penumpang lain mulai melirik-lirik dan saya cuma bisa minta maaf sambil buru-buru cari tempat buat bersih-bersih.”
Di kampung pun, suasana berubah. “Kalau dulu pulang bisa leha-leha, sekarang malah lebih capek! Anak-anak sibuk main, terus tiba-tiba jatuh, nangis, terus kita yang harus lari-lari ngurusin. Istilahnya, dulu disambut kayak pangeran, sekarang kayak asisten pribadi bocah-bocah.”
Belum lagi kalau anak-anak nggak betah dengan suasana kampung.
“Kadang mereka rewel karena rumah neneknya beda sama rumah di kota. Lebih gelap, lebih banyak nyamuk, dan sinyal internet nggak stabil. Dulu saya santai aja, sekarang harus cari cara supaya mereka betah.”
Meski begitu, Kang Bayu mengakui bahwa sensasi mudik dengan anak tetap punya kebahagiaan tersendiri. “Melihat mereka senang main di kampung, kenal saudara, itu bikin hati adem. Ada capeknya, ada rempongnya, tapi ya tetep priceless.”
Mudik setelah punya anak memang penuh tantangan, tapi ada hal-hal baru yang membuat perjalanan tetap berharga.
“Kalau dulu mudik buat diri sendiri, sekarang lebih buat mereka. Supaya anak-anak kenal kampung halaman bapaknya, supaya mereka tahu kalau ada kehidupan di luar kota yang mereka tinggali sekarang,” katanya sambil tersenyum.
Jadi, buat yang masih bebas mudik tanpa anak, nikmati baik-baik ya. Karena begitu status berubah, selamat datang di level permainan baru yang lebih menantang!”