Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menunjukkan sikap santai dan tidak ambil pusing usai disebut ‘Gubernur Lambe Turah’ dalam sebuah rapat bersama Komisi X DPR RI.
Dedi menilai julukan tersebut bukanlah persoalan penting yang perlu dibesar-besarkan, sebuah respons yang disampaikannya di hadapan ribuan warga Kabupaten Majalengka.
“Aing aya nu mere gelar deui anggota DPR, ka aing nyebutkeun ‘Gubernur Lambe Turah’. (Ada lagi yang memberikan gelar kepada saya, seorang anggota DPR menyebut saya ‘Gubernur Lambe Turah’),” ujar Dedi dengan nada lugas dan santai di hadapan kerumunan massa pada Rabu, 21 Mei 2025.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia tak merasa terganggu dengan label yang dilekatkan padanya, bahkan cenderung menganggapnya sebagai bagian dari dinamika politik yang biasa.
Julukan ‘Lambe Turah’ tersebut diketahui dilontarkan oleh Andi Muawiyah Ramly, seorang Anggota Komisi X dari Fraksi PKB. Insiden ini terjadi saat rapat dengar pendapat Komisi X DPR RI bersama Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI) pada Rabu, 21 Mei 2025.
Dalam kesempatan tersebut, Andi Muawiyah melontarkan kritik pedas kepada Gubernur Dedi Mulyadi.
Kritik Andi berpusat pada keputusan Dedi Mulyadi yang tidak mengirimkan utusan dari KORMI Jawa Barat untuk menghadiri Festival Olahraga Nasional (Fornas) ke-8. Fornas kedelapan ini sendiri diketahui diselenggarakan di Nusa Tenggara Barat.
Ketidakhadiran perwakilan Jawa Barat dalam ajang olahraga nasional tersebut menjadi pemicu utama bagi Andi Muawiyah untuk menyematkan julukan ‘Gubernur Lambe Turah’ kepada Dedi. Julukan ini mengimplikasikan bahwa Dedi Mulyadi dianggap terlalu banyak bicara atau mengeluarkan pernyataan tanpa dasar yang kuat, khususnya terkait kebijakan yang ia ambil.
Meskipun mendapat julukan yang cenderung merendahkan, Dedi Mulyadi memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Sikap ini bisa jadi merupakan strategi politik untuk menunjukkan kematangan dan fokus pada substansi pekerjaan, alih-alih terjebak dalam perdebatan personal.
Dalam konteks politik, terutama bagi seorang kepala daerah, kemampuan untuk tidak terpancing emosi dan tetap fokus pada pelayanan publik adalah hal yang penting.
Respons Dedi yang tenang ini juga dapat diartikan sebagai upaya untuk meredakan tensi yang mungkin timbul dari insiden tersebut. Dengan menyatakan bahwa julukan itu bukan persoalan penting, Dedi seolah ingin menyampaikan pesan bahwa prioritasnya adalah kemajuan Jawa Barat, bukan perseteruan verbal dengan anggota legislatif.
Peristiwa ini juga menyoroti dinamika hubungan antara eksekutif daerah dan legislatif pusat. Kritik dari DPR RI terhadap kebijakan pemerintah daerah adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi, namun penggunaan julukan atau label tertentu dapat menjadi bumerang dan mengalihkan fokus dari esensi permasalahan.
Bagi Dedi Mulyadi, ia tampaknya lebih memilih untuk menanggapi kritik dengan tindakan nyata daripada kata-kata, terlepas dari label apapun yang diberikan padanya.***