Fenomena “bangun tidur, cek HP” telah menjadi rutinitas pagi bagi jutaan orang Indonesia. Tanpa disadari, kita telah terjebak dalam siklus “doom scrolling” yang tak berujung—fenomena kegandrungan sosial media yang mengubah cara berinteraksi, bekerja, dan bahkan membentuk karakter diri.
Dari Boomer hingga Gen Alpha, sosial media telah menjadi bahasa universal yang menghubungkan berbagai generasi. Namun, tiap generasi memiliki cara berbeda dalam beradaptasi dengan “dunia baru” ini.
Generasi Baby Boomer yang dulu skeptis terhadap teknologi, kini banyak yang aktif di Facebook dan WhatsApp. Tidak jarang ditemui para pensiunan yang justru lebih sibuk dengan grup-grup online dibanding anak-anak mereka sendiri. Banyak dari mereka bahkan menjadi influencer di bidang hobi mereka, seperti kuliner, berkebun, atau kerajinan tangan.
Generasi X menjadi penghubung antara dunia analog dan digital. Mereka mengalami masa transisi teknologi dan cenderung menggunakan sosial media secara lebih pragmatis. Tidak sedikit pengusaha UMKM dari generasi ini yang berhasil mengembangkan bisnis lokalnya menjadi nasional berkat Instagram dan Facebook. Meski demikian, mereka juga yang pertama kali menyadari dampak negatif sosial media pada konsentrasi dan fokus kerja.
Millennials tumbuh bersama internet. Mereka piawai bermanuver di berbagai platform, namun juga mulai merasakan “social media fatigue” atau kelelahan digital. Tren “digital detox” mingguan pertama kali populer di kalangan generasi ini—menandakan kesadaran akan kebutuhan untuk sesekali lepas dari dunia maya.
Generasi Z dan Alpha tidak mengenal dunia tanpa internet dan sosial media. Bagi mereka, batas antara dunia virtual dan nyata nyaris tidak ada. Kemampuan berkomunikasi secara langsung mulai tereduksi, sementara keterampilan berekspresi digital justru meningkat pesat. Fenomena ini terlihat dari meningkatnya popularitas platform seperti TikTok dan Instagram di kalangan remaja.
Kegandrungan sosial media tidak hanya mengubah kebiasaan, tapi juga karakter manusia modern. FOMO (Fear of Missing Out) atau “takut ketinggalan update” adalah gejala yang hampir universal. Kecemasan ini mendorong pengecekan kompulsif terhadap notifikasi dan pemberitahuan, mengakibatkan distraksi konstan yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Like, komen, dan share telah menjadi bentuk validasi baru yang mempengaruhi kepercayaan diri dan pandangan seseorang. Tidak jarang pengguna sosial media mengubah pendapat mereka tentang suatu isu hanya karena mendapat reaksi negatif dari follower mereka—sebuah fenomena yang menunjukkan bagaimana validasi digital bisa menggeser kompas moral internal.
Studi dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata rentang perhatian mahasiswa menurun dari 20 menit pada tahun 2010 menjadi hanya 8 menit pada 2023—penurunan yang dikaitkan dengan konsumsi konten singkat dan cepat seperti Reels, TikTok, dan Stories. Kemampuan berkonsentrasi pada konten panjang dan mendalam semakin sulit dikembangkan di era digital ini.
Di dunia kerja, sosial media membawa dampak kompleks pada produktivitas. Multitasking digital—seperti mengerjakan laporan sambil membalas pesan dan melihat update media sosial—dianggap sebagai keahlian baru. Namun studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa praktik ini sebenarnya menurunkan produktivitas hingga 40%, bukan meningkatkannya.
Garis antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur berkat sosial media. Pesan kerja bisa datang kapan saja via WhatsApp atau Slack, membuat banyak karyawan sulit benar-benar “offline” setelah jam kerja. Fenomena ini berkontribusi pada meningkatnya kasus burnout di kalangan pekerja korporat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Di sisi positif, platform seperti Slack, Discord, dan grup WhatsApp memungkinkan kolaborasi instan yang meningkatkan produktivitas tim, terutama dalam setting kerja jarak jauh. Banyak startup dan perusahaan teknologi yang melaporkan peningkatan produktivitas hingga 25% sejak menerapkan sistem kerja hybrid yang didukung teknologi komunikasi digital.
Tren “mindfulness digital” mulai berkembang di kalangan profesional yang sadar akan dampak sosial media. Praktik ini melibatkan penggunaan aplikasi secara sadar dan bertujuan, bukan kompulsif. Konsep sederhana seperti bertanya pada diri sendiri “apakah saya butuh informasi spesifik, atau hanya mencari pelarian?” sebelum membuka sosial media mulai diterapkan oleh banyak pengguna yang lebih bijak.
Mengatur batasan penggunaan sosial media menjadi krusial untuk keseimbangan mental dan produktivitas. Praktik seperti menetapkan “jam bebas gadget” dan menciptakan ruang fisik tanpa teknologi semakin populer di kalangan keluarga urban. Kotak penyimpanan gadget saat makan malam keluarga, misalnya, telah menjadi tren di banyak rumah tangga yang ingin memulihkan koneksi interpersonal.
Pertanyaan tentang “warisan digital” juga menjadi penting di era sosial media. Konten yang dibuat hari ini bisa bertahan selamanya di dunia maya, memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya berpikir jangka panjang sebelum memposting sesuatu. Pertanyaan reflektif seperti “apakah 10 tahun dari sekarang saya masih akan bangga dengan konten ini?” menjadi panduan penting bagi para kreator konten yang sadar akan jejak digital mereka.
Di tengah arus deras informasi dan kegandrungan sosial media, membangun karakter digital yang tangguh menjadi kunci bagi semua generasi. Ini melibatkan literasi digital kritis, empati digital, konsistensi nilai, dan keberanian untuk disconnect. Para pakar komunikasi digital di Indonesia menyebutkan bahwa sosial media adalah pisau bermata dua—bisa menjadi alat luar biasa atau bisa menghancurkan, tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Kegandrungan sosial media telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi. Namun, masa depan digital kita masih dalam kendali kita. Dengan kesadaran, batasan yang jelas, dan pembentukan karakter digital yang kuat, kita bisa memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan esensi kemanusiaan kita. Jadilah pengguna sosial media yang cerdas—bukan sekadar pengguna, tapi pengendali teknologi. Karena pada akhirnya, teknologi seharusnya memperkaya hidup kita, bukan mengendalikannya.
Apakah Anda merasa sosial media lebih banyak memberi manfaat atau justru mengganggu produktivitas Anda?