Persetujuan publik atas demonstrasi yang menentang tunjangan perumahan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuahkan hasil. Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, mengonfirmasi bahwa parlemen telah menghapus alokasi anggaran untuk tunjangan tersebut.
“Anggaran tunjangan perumahan sudah dilakukan self blockir,” kata Indra, dikutip dari keterangan Tempo, pada Minggu, 7 September 2025.
Sebelumnya, setiap anggota DPR mendapat tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan. Tunjangan ini merupakan pengganti fasilitas rumah jabatan, tetapi kini telah ditiadakan.
Indra menjelaskan bahwa hak keuangan DPR saat ini berpedoman pada ketentuan yang berlaku. Pendapatan bersih total anggota DPR kini mencapai Rp 65 juta. “Hak keuangan terbaru berlaku per 1 September,” ucapnya.
Pembatalan tunjangan perumahan merupakan salah satu tuntutan dari kelompok masyarakat “17+8.” Para pegiat menilai tunjangan ini tidak memiliki urgensi.
Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, berpendapat bahwa tidak ada urgensi untuk memberikan tunjangan perumahan bagi anggota DPR saat ini.
“Kengototan meminta tunjangan perumahan mengkonfirmasi semangat DPR yang hanya peduli pada diri sendiri,” ujar Lucius saat dihubungi pada Senin, 18 Agustus 2025.
Menurut Lucius, tidak seharusnya anggota DPR masih mementingkan fasilitas pribadi, apalagi sejak awal wacana tunjangan ini muncul, publik telah menolaknya dengan keras. Ia menduga tunjangan ini adalah “akal bulus” DPR untuk menambah pemasukan 580 anggota dewan. “Ada-ada saja utak-atik anggaran,” katanya.
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Misbah Hasan, mengatakan tunjangan perumahan anggota DPR tidak diperlukan karena mayoritas anggota dan pimpinan dewan sudah memiliki rumah pribadi.
“Tunjangan perumahan akan memberatkan keuangan negara,” katanya, dihubungi melalui aplikasi perpesanan pada Senin, 18 Agustus 2025.

















