Pernah dengar pepatah, mulutmu harimaumu? Dulu pepatah itu hanya sebatas peringatan agar kita tidak sembarangan bicara. Tapi di era digital ini, pepatah itu butuh pembaruan: mulutmu dan jarimu adalah harimaumu.
Mengapa? Karena ucapan kasar di jalan atau postingan emosional di media sosial bisa berubah jadi bumerang, menyeret kita ke masalah hukum yang panjang.
Banyak orang masih menganggap bertengkar di jalan atau adu mulut di warung kopi hanyalah persoalan kecil. Demikian juga, sindir-sindiran di Facebook atau komentar pedas di grup WhatsApp sering dianggap sekadar “drama dunia maya”.
Padahal, aturan hukum di Indonesia tidak membedakan lokasi terjadinya penghinaan. Apakah di pinggir jalan, ruang rapat, atau kolom komentar—jika ada pihak yang merasa dirugikan, laporan hukum bisa saja dilayangkan.
Mari ambil contoh sederhana. Dua orang bertengkar karena senggolan motor di jalan desa. Emosi meluap, lalu keluarlah kata-kata kasar yang didengar banyak orang.
Satu pihak sakit hati, lalu membawa kasus itu ke ranah hukum dengan tuduhan penghinaan di muka umum. Bisa diproses? Tentu saja bisa! Aturannya jelas ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal serupa berlaku di dunia digital. Di balik layar ponsel, jari-jemari kita sering lebih cepat daripada otak. Mengetik status marah, membagikan meme yang menyinggung, atau menulis komentar sarkastik seolah tidak berdampak.
Padahal, jejak digital sulit dihapus. Jika orang yang tersinggung memilih jalur hukum, pasal tentang pencemaran nama baik dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) siap menjerat.
Kenyataannya, banyak orang baru sadar setelah panggilan klarifikasi dari kepolisian datang. Pada saat itu, penyesalan selalu terlambat. Alasan “cuma bercanda” atau “iseng saja” seringkali tidak cukup untuk membebaskan dari jeratan hukum.
Lalu, apa pelajaran yang bisa kita ambil? Pertama, kendalikan emosi. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan bentakan atau makian. Kedua, pikir sebelum posting. Tanyakan pada diri sendiri: apakah tulisan saya bisa menyinggung orang lain? Ketiga, gunakan musyawarah sebagai jalan utama. Masalah sosial atau konflik kecil sebaiknya diselesaikan secara damai, bukan dipamerkan ke publik. Dan yang tak kalah penting, ingat jejak digital. Apa yang sudah dipublikasikan di internet akan sulit benar-benar hilang.
Hukum hadir bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang merugikan. Namun perlindungan itu juga berarti ada konsekuensi bagi siapa pun yang melanggar. Dalam konteks ini, mulut dan jari bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga penentu apakah kita aman atau justru terjerat pasal.
Jadi, sebelum marah-marah di jalan atau mengetik status pedas di media sosial, berhentilah sejenak. Ingat, bisa jadi yang kita anggap hanya kata-kata, justru berubah menjadi tiket masuk ke meja hijau.
Mulut dan jari kita bukan mainan. Gunakan dengan bijak, sebelum jadi bumerang yang menggigit balik.














