Dunia kampus seringkali dipotret sebagai ruang belajar yang egaliter, rasional, dan terbuka terhadap kritik. Namun, di balik idealisme itu, terdapat praktik sosial yang justru mereproduksi hierarki dan dominasi: budaya senioritas.
Di banyak perguruan tinggi, status “senior” tak hanya menandai urutan angkatan, tetapi menjadi dasar kuasa simbolik yang memengaruhi interaksi, organisasi, bahkan relasi pengetahuan.
Senioritas sebagai Struktur Kuasa
Budaya senioritas kerap dijustifikasi sebagai bentuk “pembinaan” atau “pengkaderan.” Mahasiswa baru (maba) dianggap belum cukup tahu, belum cukup paham, dan karena itu harus patuh pada senior. Di sinilah relasi kuasa mulai terbentuk. Senior memposisikan diri sebagai otoritas moral dan organisatoris, sering kali tanpa dasar kompetensi substantif.
Dalam banyak kasus, praktik ini berkembang menjadi kekerasan simbolik maupun fisik: orientasi penuh tekanan, relasi tunduk-patut dalam organisasi mahasiswa, hingga pembungkaman kritik atas keputusan yang dibuat para senior. Akibatnya, kampus kehilangan daya kritis dan kebebasan berpikir digantikan oleh kepatuhan struktural.
Menyempitnya Ruang Solidaritas
Alih-alih menciptakan ikatan solidaritas antarmahasiswa, budaya senioritas justru memperkuat stratifikasi. Mahasiswa tak lagi dipandang sebagai kawan seperjuangan, tetapi sebagai bagian dari jenjang hierarkis yang harus dijaga. Keputusan organisasi lebih banyak ditentukan oleh senior, sementara kader muda hanya menjalankan.
Ironisnya, dalam konteks gerakan mahasiswa sekalipun, struktur ini tetap bertahan. Seruan untuk melawan dominasi negara dan kapitalisme sering terdengar, tetapi praktik internal organisasi mahasiswa kerap meniru pola dominasi yang sama. Budaya “ngopeni” junior berubah menjadi instrumen loyalitas, bukan ruang pembebasan.
Membongkar Tradisi Demi Keadilan Akademik
Budaya senioritas tidak muncul begitu saja. Ia adalah produk dari sistem sosial yang lebih luas yang menormalisasi dominasi, menyanjung usia dan pengalaman tanpa kritik, serta menyingkirkan mereka yang baru sebagai “belum layak bicara.” Untuk itu, membongkar praktik ini bukan sekadar soal gaya berorganisasi, tapi juga soal memulihkan prinsip-prinsip keadilan dalam ruang akademik.
Senioritas seharusnya berarti tanggung jawab, bukan kuasa. Menjadi senior artinya membantu yang baru, bukan menundukkan mereka. Kampus, sebagai ruang berpikir dan membebaskan, harus mendorong relasi horizontal, di mana setiap suara dihargai bukan karena lamanya duduk di bangku kuliah, tapi karena substansi pikirannya.
Kampus Tanpa Tuan dan Jongos
Jika dunia kampus ingin sungguh menjadi ruang yang kritis, demokratis, dan membebaskan, maka segala bentuk hierarki semu termasuk senioritas yang opresif harus dibongkar. Hubungan antarmahasiswa harus dibangun atas dasar solidaritas, bukan subordinasi. Bukan siapa yang lebih dulu datang, tapi siapa yang lebih berani berpikir dan berbagi ruang.
Karena kampus bukan ladang kuasa, melainkan ladang belajar bagi semua, tanpa terkecuali.