Purwakarta – Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI Purwakarta) menyatakan bahwa Gedung DPRD Purwakarta telah disegel selama empat hari berturut-turut sebagai bentuk penolakan terhadap hasil rapat paripurna penetapan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) yang dinilai tidak memiliki dasar ilmiah dan tidak transparan kepada publik.
Penyegelan yang dimulai sejak 9 Desember 2025 tersebut merupakan bagian dari aksi boikot DPRD Purwakarta yang dilakukan GMNI sebagai respons atas proses legislasi daerah yang dianggap mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat dan kewajiban naskah akademik.
GMNI menilai, Propemperda yang disahkan tanpa pemaparan kajian ilmiah kepada publik berpotensi menjadikan peraturan daerah sebagai produk administratif semata, bukan hasil perencanaan hukum yang rasional dan berpihak pada kebutuhan rakyat.
“Empat hari penyegelan ini bukan soal menutup gedung, tapi membuka kesadaran. Jika Propemperda disusun tanpa dasar ilmiah, maka yang ditutup sebenarnya adalah ruang akal sehat dalam legislasi,” ujar Yogaswara, Ketua Umum DPC GMNI Purwakarta, 13 Desember 2025.
Menurut GMNI, ketentuan mengenai naskah akademik, kajian ilmiah, dan keterbukaan proses telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, serta Permendagri Nomor 80 Tahun 2015. Pengabaian terhadap ketentuan tersebut membuat hasil paripurna layak dipertanyakan dan dievaluasi ulang.
Hingga hari ini, GMNI Purwakarta memastikan bahwa boikot DPRD akan terus berlanjut selama dua minggu ke depan. GMNI juga telah menetapkan bahwa puncak dari rangkaian boikot ini akan ditutup dengan aksi besar-besaran, sebagai bentuk konsolidasi mahasiswa dan masyarakat sipil untuk menuntut transparansi dan perbaikan proses legislasi.
“Kami berharap DPRD menggunakan momentum ini untuk membuktikan bahwa legislasi daerah bukan sekadar formalitas rapat, tetapi proses yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka,” tegas Yogaswara.
GMNI Purwakarta menegaskan bahwa aksi boikot ini merupakan peringatan konstitusional, bukan bentuk penolakan terhadap pemerintahan, melainkan upaya menjaga demokrasi lokal yang sehat, partisipatif, dan berbasis ilmu pengetahuan.
















